Jumat, 13 Maret 2009

Soal Penyusunan RPP Pendidikan Keagamaan

JAKARTA - Departemen Agama dan Depdiknas yang saat ini tengah menggodokRancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Keagamaan (RPP PendidikanKeagamaan) yang senapas dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional (Sisdiknas) hendaknya arif dan bijaksana dalammenempatkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia."Masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren dalam UU Sisdiknashendaknya tidak dijadikan komoditas bagi pemerintahan untuk mengaturpenyelenggaraan dan pengelolaannya," ujar pakar pendidikan Dr Muhamad Ridwankepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (13/2) .Sementara itu, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Fuad Fanani, melihathegemoni negara kembali tercermin dalam RPP Pendidikan Keagamaan. "RPP ituhampir sama dengan UU Sisdiknas dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Betapakentalnya intervensi negara dalam kehidupan publik. Padahal, negaraseharusnya menumbuhkan kesadaran kritis bukan membelenggu," ujarnya.Dikatakan, Depag dan Depdiknas harus mampu melakukan dialog dengan semuakomponen, sehingga produk PP tidak lagi mendapat perlawanan dan resistensibegitu besar di tengah masyarakat seperti UU Sisdiknas. "Teman-teman JIMMsiap bergabung dengan komponen lainnya menentang setiap bentuk hegemoninegara kepada masyarakat," katanya.Menurut Muhamad Ridwan, di samping menempel dalam pasal-pasal tentangjenjang pendidikan yang salah satunya menyebut madrasah dan pesantrentercantum dalam satu pasal khusus, diatur oleh Departemen Agama, hendaknyahal ini tidak diimplementasikan mengatur secara administratif oleh negara.Dalam naskah UU Sisdiknas, pendidikan keagamaan diatur pada pasal 26 yangsecara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu,dimasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalampasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan."Peraturan Pemerintah tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpamembedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkansecara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agamatertentu. Jangan sampai terkesan negara membelenggu pendidikan keagamaan.Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastianhukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agamatertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khasyang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkansemua," ujarnya.Ditegaskan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah cukup mengakomodasikan pendidikankeagamaan sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik,menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agamatertentu menjadi tidak perlu. Namun, dalam RPP sebaiknya Depag dan Depdiknastidak lagi mengatur secara khusus sehingga membuat pesantren atau sekolahpendidikan keagamaan merasa terkooptasi oleh negara.Dijelaskan, sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadarkita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalurpendidikan sekolah. Sebelum UU No 2 Tahun 1989 dan Wajib Belajar PendidikanDasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjangpendidikan terendah sebagai sekolah dasar (SD), kemudian jenjang berikutnyasekolah menengah pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dannama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan.Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2 tahun 1989 dan Wajar Dikdasdiberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama(SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolahkejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakanbagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauanberpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernamaSLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya, nama yangtepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelaskedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.Anehnya, dalam naskah UU Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD),Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat(pasal 17 ayat 2), kemudian Pendidikan menengah tingkat pertama berbentukSekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yangsederajat dan 'Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)terdiri atas tiga tingkat' (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal20 ayat 3 disebutkan bahwa 'Pendidikan menengah umum berbentuk SekolahMenengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)', dan pada ayat 4 'Pendidikanmenengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)'. (E-5)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar