Rabu, 11 Maret 2009

MENINGKATKAN AKSES PENDIDIKAN

UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut
PT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja
dipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan
kinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial
melalui akses ke perguruan tinggi.

Subsidi adalah instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk
merealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan publik, termasuk
pendidikan tinggi. Pada tahun anggaran 2005, misalnya Pemerintah menyediakan lebih
dari Rp 100 trilyun untuk subsidi, tidak termasuk pembiayaan pendidikan tinggi sebesar
Rp 6,2 trilyun.

Pada waktu kemampuan keuangan cukup kuat, pemerintah mampu membiayai
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Selama ini pemerintah menyubsidi biaya pendidikan
tinggi sekitar 75 persen. Namun sekarang, keuangan pemerintah tidak seperkasa dulu,
padahal untuk meningkatkan mutu akademik dan memperbesar dan memeratakan akses
perlu dukungan dana yang besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat oleh
Pemerintah. Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dan hanya menyediakan
pembiayaan seadanya sebesar Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengan
konsekuensi PT tidak mampu mencapai mutu akademik dan akses semakin terbatas, dan
hanya mampu dijangkau oleh 4 persen kelompok masyarakat kurang mampu? Atau, beri
PT kemandirian lebih besar untuk mengembangkan strategi pembiayaan yang lebih
rasional sehingga dapat memperbaiki mutu dan memperbesar akses bagi kelompok
masyarakat kurang mampu?

Resep Nicholas Barr ternyata Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang sedang mengghadapi kondisi
dilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama
yakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke
perguruan tinggi. Dalam majalah The Economist edisi 8 September 2005, diungkapkan
hasil survei Shanghai Jiao Tong University tahun 2004, dari 20 top world universities, 17
adalah universitas Amerika Serikat, 2 perguruan tinggi Inggeris dan 1 universitas Jepang.
Artikel tersebut juga mengungkapkan ketimpangan akses antara 2 negara, hanya 16
persen anak-anak keluarga kurang mampu di Inggeris mendapatkan akses ke PTm,
sedangkan di Amerika Serikat lebih dari 45 persen.

Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics
(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof.
Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How
best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing
loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk white
paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya
untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris.

Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh dua
partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isu
kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi. Partai
Torries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan
kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai
Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang
mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para
mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian.
Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak
selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi.
Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan
menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics,
subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk
membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah.

Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan
kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke
pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu.
Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampu
mencapai 43 persen.

Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik
kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung
rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah
dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs
pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk
anak-anak keluarga tidak mampu.
Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya.
Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggi bermutu tinggi harus membayar biaya
investasi masa depannya. Yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke
pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman.

Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah
menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji
bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji
ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah
mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi
ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu
yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman
untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi.

sumber : http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/MENINGKATKAN-AKSES-KE-PENDIDIKAN-TINGGI-ver-2.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar