Rabu, 27 Mei 2009

RESUME BUKU

Bab I
PERKEMBANGAN EKONOMI DAN KETENAGA KERJAAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENDIDIKAN
a. Perkembangan Ekonomi Sejak Masa Krisis
Terjadinya krisis ekonomi sejak pertangahan tahun 1997, telah memberikan dampak pada berbagai sisi kehidupan masyarkat. Krisis ekonomi yamg masih terus berlanjut tanpa kepastian kapan akan berkahir ini, ditenggarai karena lemahnya fundamental ekonomi Indonesia yang terbentuk selama ini.
Akibatnya, sirklus kegiatan ekonomi sangat mudah terkena distorsi dan retan terhadap pengaruh eksternal. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya krisis politik yang berkepanjangan sejak tumbangnya pemerintah Orde Baru yang permasalahannya masih tersisa sampai sekarang ini.
Krisis moneter yang awalnya dipicu oleh besarnya hutang luar negeri pemerintah maupun swasta yang jatuh tempo secara bersamaan (tidak di “hedeg”), berpenagruh langsung terhadap permintaan akan dollar Amerika Serikat. Rupiah semakin terpuruk dan dalam waktu yang sangat singkat, dollar melonjak dari Rp 2.450,- pada Juli 1997 hingga mencapai Rp 17.000,- walaupun akhirnya berfluktuasi dibawah Rp 10.000,-.
Permasalahan moneter ini dalam derajat tertentu masih terus terjadi sampai sekarang karena fundamental ekonomi yang belum kuat ditambah dengan krisis politik dan keamanan yang masih terus berlangsung. Kerugian kurs yang semakin taidak tearkendali menghantam berbagai kegiatan disektor rill. Alhasil, sebagian besar indutri yang ketergantungan importnya tinggi todak mampu lagi melanjutkan usahanya. Harga barang dan jasa semakin meningkat yang ditandai dengan tingginya inflasi bahkan menjurus pada kondisi “hiperinflasi”.
Kegiatan lembaga keuangan merupakan sektor ekonomi yang paling paarah kondisinya. Masalah disektor ini muncul karena terlalu banyak pinjaman yang disalurkan oleh bank (terutama pada perusahaan afiliasinya) yang melebihi batas maksimum yamg ditetapkan. Ketidakmampuan perusahaan untuk membayar hutangnya yang diperoleh melalui bank, menyebabkan ditutupnya beberapa kegiatan bank berskala nasional. Muncul krisis ketidakpercayaan pada bank yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk menarik seluruh dananya yang tersimpan dibank secara besar-besaran (rush).
Selain itu krisis moneter dan krisis ekonomi yang sedang berlangsung semakin diperbururk oleh adanya krisis politik maupun krisis kepercayaan pada pemerintah. Sementara itu, rakyat semakin menderita karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup yang didorang pula oleh langka dan mahalnya beberapa kebuatuhan pokok. Akibatnya situasi ekonomi menjadi tidak stabil dan muncul friksi-friksi sosial dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi yang dapat kita lihat pada tabel 1.1 berikut :






Bila kita kaji menurut sektor ekonominya, hampir semua sektor pada tahun 1998 mengalami pertumbuhan negatif. Yang palin parah dialami oleh sektor konstruksi dengan pertumbuhan -37,5 persen, disusul sektor perdagangan, hotel, dan restoran -20,6 persen, dan seterusnya.
Oleh karena itu upaya untuk memutar kembali roda perekonomian serta menggairahkan investasi menjadi sesuatu yang segera harus dilaksanakan agar pertumbuhan ekonomi dapat diciptakan kembali. Namun demikian kondisi yang mendukung seperti stabilitas politik dan keamanan perlu dijaga akan tujuan ini dapat dicapai.

a. Perkembangan Ketenagakerjaan Sejak Masa Krisis
Pada hakekatnya lapisan bawah paling merasakan dampak dari berbagai krisis ini. Seperti diketahui, lumpuhnya sebagian kegiatan ekonomi di sektor formal telah menyebabkan terjadinya PHK secara besar-besaran. Langkah yang dilakukan oleh sebagian pekerja yang terkena PHK untuk tetap dapat bekerja antara lain:
1. Mencari pekerjaan baru sesuai dengan profesi, selama lapangan kerja yang tersedia masih memungkinkan (peluang untuk ini memang kecil sekali)
2. Beralih pada bidang pekerjaan lain yang mungkin tidak sesuai dengan profesi.
3. Bekerja serabutan tergantung pada kebutuhan lapangan kerja yang ada.
4. Membuka usaha sendiri, seperti usaha kafe yang sekarang sedang marak, atau usaha kecil-kecilan lainnya.
Berdasarkan fenomena ini, tidak semua pengangguran baru yang jumlahnya 5,2 juta orang menjadi penganggur seterusnya, sehingga pada akhirnya angka pengangguran tidak sebesar seperti yang diperkirakan. Namun demikian walaupun terbuka lapangan kerja baru, kualitas pekerjaan dan penghasilan yang diperoleh mereka sudah tentu lebih rendah. Tabel 1.2 memperlihatkan gambaran mengenai pengangguran yang terjadi akibat krisis ekonomi. Bila pada tahun 1997 jumlah penganggur baru mencapai 6 juta orang maka tahun 1998 jumlah mereka telah mencapai 13,9 juta orang atau dengan tingkat pengangguran sebesar 15,2 persen.
Terhentinya berbagai kegiatan ekonomi memaksa sejumlah perusahaan mengurangi aktifitasnya, bahkan sebagian lagi menutup usahanya karena kondisi yang tidak memungkinkan lagi. Lesunya pasar, karena daya beli masyarakat yang semakin menurun, menghadapkan perusahaan pada keadaan yang paling kritis. Dilain pihak sulitnya memperoleh modal karena tingkat suku bunga yang sangat tinggi menjadikan perusahaan sulit untuk bergerak bahkan mereka terpaksa melepaskan aset-asetnya untuk membayar pinjaman berikut bunganya. Apalagi jika pinjaman dibayarkan dalam bentuk dollar. Menghadapi kondisi ini perusahaan melakukan efisiensi diberbagai bidang, terutama yang berkaitan dengan operasi perusahaan. Salah satu strategi yang dilakukan adalah pengurangan produksi yang berakibat terhadap pengurangan jumlah jam kerja pekerja. Dalam kondisi yang paling buruk, perusahaan mengurangi produksi atau harus mengurus usahanya maka dilakukan pemberhentian pekerja (PHK).


Sementara itu pengangguran terus meningkat, sebagai konsekuensi dari tutupnya indutri-industri formal yang pengoperasiannya banyak meyerap tenaga kerja. Akibatnya sebagian besar rumah tangga sudah tidak mampu lagi membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Harga yang membumbung tinggi yang semakin tidak terkendali (khususnya sembako) mengakibatkan berkurangnya daya beli masyarakat. Inflasi yang diperkirakan mencapai 80 persen pada tahun 1998 semakin menurunkan daya beli masyarakat.
Dalam situasi yang memburuk ini, ekonomi rumah tangga harus diselamatkan. Berbagai cara dilakukan untuk tetap mampu menghidupi dapur keluarga. Kondisi ini memaksakan setiap anggota rumah tangga yang mampu bekerja untuk turut serta mencari nafkah. Keadaan seperti initelah mempengaruhi struktur kesempatan kerja nasional, dengan kecenderungan terjadi pergeseran yang signifikan antara pekerja disektor formal dan disektor informal. Tabel 1.3 memperlihatkan pergeseran yang dimaksud, dengan penajaman pada daerah kota dan daerah pendesaan.





Bila dibandingkan dengan perkembangan jumlah pekerja pada tabel 1.2 yang menunjukan penurunan, maka pada tabel 1.3 ini jumlah pekerja masih menunjukan kenaikan dari 82,5 juta mejadi 87,0 juta atau tumbuh 5,5 persen. Hal ini dapat dimengerti karena keadaan yang ducatat adalah untuk Februari 1998 dimana dampak krisis kemungkinan belum terlalu besar terhadap penyediaan lapangan kerja, disamping juga terjadinya tekanan baru akibat adanya sejumlah mereka usia muda yang mengalami putus sekolah berusaha masuk kedalam pasar kerja. Selanjutnya tabel 1.4 menunjukan pergeseran pekerja yang terjadi antar lapangan usaha.





Dari uraian diatas sebenarnya telah terjadi pergeseran pekerja yang cukup signifikan dari sektor-sektor formal terutama di industri, perdagangan dan bangunan kepada sektor pertanian yang lebih informal. Kebetulan ketiga sektor terakhir tersebut merupakan sisi dari kegiatan perkotaan. Mereka yang kehilangan pekerjaan di perkotaan secara pasti kembali ke desa dan berusaha membuka kembali lapangan kerja disektor pertanian. Sayangnya tidak semua sektor pertanian di desa siap menampung mereka, terutama karena telah banyak lahan pertanian yang dikonfersi untuk peruntukan lain.
Jika diamati lebih lanjut nampak bahwa sebagian besar pekerja baik di desa maupun di kota memiliki pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah Sekolah Dasar (lebih dari 50%). Bahkan dalam masa krisis yang tengah berlangsung kelompok ini secara persentase mengalami sedikit penurunan dalam jumlahnya.
Dapat disimpulkan bahwa pergeseran pekerja terjadi deseluruh jenjang pendidikan, baik di kota maupun di desa. Secara persentase pada beberapa jenjang pendidikan di kota jumlah pekerjanya mengalami penurunan, sebaliknya di desa mengalami peningkatan bahkan pada jenjang pendidikan D1, D2 dan universitas, kenaikannya relatif cukup tinggi (diatas 40%).
a. Dampak Krisis Terhadap Ekonomi Rumah Tangga
Rumah tangga merupakan unit ekonomi terkecil yang dalam krisis ekonomi paling mudah dilihat dampaknya, baim secara langsung maupun tidak langsung. Dampak yang secara langsung dapat dirasakan adalah sulitnya mendapatkan lapangan kerja terutama bagi meraka yang ter-PHK, meskipun mereka memiliki kemampuan, pengalaman kerja dan pendidikan yang memadai. Berikutnya adalah langkanya beberapa komoditi strategis, dan kalaupun ada harganya sudah naik berlipat kali. Dampak yang secara tidak langsung dirasakan rumah tangga adalah menurunya rasa aman karena meningkatnya instabilitas dalam negeri, yang diantaranya ditunjukan melalui peningkatan angka kejahatan, banyak unjuk rasa dan sebagainya.
Bagi mereka yang terkena dampak krisis, khusunya mereka yang terkena PHK akan mengalami penurunan pendapatan, yang secara langsung akan berpengaruh pula terhadap pola konsumsi rumah tangga. Penurunan yang dapat direfleksikan melalui indikator pendapatan perkapita menunjukan semakin buruknya kondisi ekonomi rumah tangga. Belum lagi jika diperhitungkan tingkat inflasi yang begitu tinggi, yang menyebakan turunnya daya beli masyarakat, tentu akan mudah melihat semakin membengkaknya angka kemiskinan. Tabel 1.6 memperlihatkan perkembangan pendapatan perkapita masyarakat yang dinyatakan dalam PDB dan PNB perkapita.





Persoalan melonjaknya jumlah penduduk miskin telah menyita perhatian pemerintah untuk segera mengatasi mereka keluar dari kemiskinan. Kalau pada masa yang lalu upaya megatasi dan memecahkan persoalan masyarakat lebih banyak didekati dengan program sektoral, maka dalam krisis sekarang ini dibuat serangkaian program yang lebih membumi dan langsung menyentuh kepentingan masyarakat kelompok bawah. Program-program tersebut kemudian dikenal dengan Social Safety Net atau Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sebagian besar sumber dana yang tersedia dari Anggaran Pendapatan Negara (APBN) murni maupun bantuan luar negeri difokuskan untuk memsukseskan program ini.

a. Dampak Krisis Terhadap Pendidikan
Salah satu dampak yang sangat dirasakan oleh rumah tangga dengan berlangsungnya krisis adalah kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Biaya pendidikan semakin mahal karena meningkatnya biaya operasi penyelenggaraan pendidikan. Kalau sebelumnya kebutuhan akan pendidikan menjadi kebutuhan dasar, sekarang dia harus bersaing dengan kebutuhan yang lebih dasar lagi yaitu sembako. Akibat yang paling parah adalah suatu kenyataan dimana anak-anak harus meninggalkan bangku sekolah, untuk membantu orang tuanya bekerja.
Mahalnya berbagai produk barang dan jasa mengharuskan pihak sekolah meningkatkan biaya pendidikan yang dirasakan semakin tak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Harga buku, alat-alat tulis dan peralatan sekolah lainnya melonjak tajam terutama yang kompenennya masih berasal dari impor. Dengan demikian, krisis ekonomi sebenarnya juga telah menciptakan krisis lanjut pada dunia pendidikan nasional. Tabel 1.8 memperlihatkan perkembangan jumlah penduduk 5 tahun keatas yang masih bersekolah, dibedakan antara Jawa dan luar Jawa.










Bab II
MENUJU MASYARAKAT INDONESIA BARU
a. Latar Belakang
Telah dikemukakan bahwa salah satu dampak krisis ekonomi yang paling buruk adalah menurunnya pendidikan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat menengah kebawah yang diakibatkan oleh menurunnya daya beli. Karena pada hakekatnya pendidikan di Indonesia sudah mengalami krisis mutu, keadilan dan efisiensi yang jauh lebih lama daripada krisis ekonomi, yaitu sedikitnya sejak akhir masa “Orde Lama” dan awal kebangkitan “Orde Baru” pada akhir tahun 1960-an. Krisis pendidikan ini terjadi sebagai akibt dari sejumlah faktor. Namun, diantara yang paling dominan itu setidak-tidaknya terdapat faktor utama, yaitu ketergantungan dan pembakuan.
Pertama, “ketergantungan”; pembangunan pendidikan di Indonesia sampai saat ini telah berhasil mencapai pertumbuhan yang tinggi, khususnya dalam aspek kuantitatif seperti angka partisipasi, pertambahan gedung sekolah, pengadaan sarana belajar, pertambahan guru, dan sejenisnya. Keberhasilan seperti ini lebih ditentukan dengan adanya dana besar yang harus disediakan oleh pemerintah.
Kedua, “pembakuan”; dalam sistem pengelolaan pendidikan bersifat sentralistik setiap keputusan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pada setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan di setiap wilayah dilakukan oleh pemerintah pusat. Untuk tidak mengulangi kesalahan yang selama ini kita lakukan, pembangunan pendidikan dalam era reformasi perlu diarahkan pada upaya melepaskan diri dari ketergantungan yang berlebihan terhadap sumber-sumber luar negeri. Dengan kata lain, pembangunan pendidikan dapat lebih berbasis pada ‘kemandirian’ atas dasar seluruh potensi kekuatan bangsa.

b. Menuju Kemandirian Bangsa
Kemandirian bersumber dari kemampuan suatu bangsa untuk bertahan dalam lingkungan yang berubah, baik lingkungan alam, masyarakat ataupun lingkungan antarbangsa tanpa mengorbankan jati diri. Kemandirian juga merupakan salah satu faktor penting untuk mendorong terwujudnya ketahanan nasional dalam pengertian yang hakiki dan berjalan secara berkelanjutan (sustainable). Untuk mencapai kemandirian yang kukuh itu, suatu bangsa harus mencapai tingkat penguasaan teknologi tertentu yang dapat menggerakan seluruh tatanan kehidupannya, termasuk didalamnya sektor-sektor industri.
Kemandirian bangsa mencerminkan tatanan kehidupan yang stabil dan dewasa serta lebih mengandalkan kemampuan sendiri untuk tumbuh. Industri sudah harus berfungsi sebagai tulang punggung perekonomian sehingga teknologi untuk menggerakan sendi-sendi dan mata rantainya perlu dikuasai sepenuhnya. Kemandirian bangsa menunjukan pula fungsinya demokratisasi dalam berbagai kehidupan. Tujuan utamanya tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Kemandirian itu dicerminkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut :

ü Memiliki SDM yang tercermin dari makin banyaknya tenaga ahli dan profesioanal.
ü Makin kecilnya ketergantungan pada sumber pembiayaan dan modal investasi luar negeri.
ü Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang memadai.
ü Mamiliki daya tahan nasional.
Keempat, karakteristik tersebut harus diajdiakn acuan bagi pembangunan pendidikan nasional dalam rangka menunjang terwujudnya kemandirian. Masyarakat yang mandiri memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan nasib sendiri dan masa depannya secara demokratis.
Berdasarkan keempat azas tersebutpembangunan pendidikan harus mampu menyiapkan SDM Indonesia yang produktif dalam kehidupan masyarakat madani yang dikonsepkan sebagai keadaan, permasalahan, tantangan dan kepribadian bangsa Indonesia.
c. Menuju “Civil Society” Indonesia
Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru, keinginan masyarakat untuk mewujudkan kehidupan demokrasi di berbagai bidang semakin besar, ditambah lagi dengan kecenderungan yang kuat ke arah berkembangnya masyarakat madani. Istilah masyarakat madani, selain mengacu kepada konsep civil society juga mendasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad S.A.W pada tahun 622 M. Konsep ini tetap relevan meskipun penerapannya di Indonesia masih harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang angat berbeda dengan lingkungan masyarakat Arab pada sekian abad silam.
Disamping pengertian tersebut di atas, karakteristik masyarakat madani juga dapat diidentifikasikan melalui oleh konsep ‘civil society’ yang berkembang pada masa industri modern. Konsep civil society berkaitan erat dengan konsep-konsep lainnya, seperti: demokratisasi, profesionalisme dan produktifitas, hak-hak dasar manusia serta tanggungjawab warga negara. Jadi, partisipasi masyarakat sebagai warga negara yang bertanggungjawab dan profesional yang mampu memacu produktivitas nasional dalam berbagai bidang kehidupan semakin bisa terwujud sejalan dengan makin berkembangnya masyarakat madani.
Kaitan konsep demokrasi dengan konsep civil society sangatlah erat. Berkembangnya masyarakat kelas menengah pada negara-negara industri baru berbarengan dengan proses industrialisasi yang telah mampu mendongkrak demokratisasi di berbagai bidang. Berbagai lembag dalam tersebut diserahi tanggung jawab dalam proses sosialisasi untuk meningkatkan rasa kebersamaan sosial yang mengarah pada pembinaan produktivitas warganya.
Namun sekali lagi, konsep civil society yang diterapkan pada masyarakat Indonesia modern harus diadaptasikan dengan karakteristik masyarakatnya yang bersifat sosialis-religius. Masyarakat Indonesia modern itu memiliki karakteristik sebagai berikut :
ü Iman dan Takwa : artinya masyarakat sipil yang diinginkan bukan suatu masyarakat sekuler.
ü Demokratis : adalah ciri utama masyarakat yang memiliki kesadaran berpartisipasi dalam kehidupan.
ü Kemandirian : ialah kesiapan masyarkat menghadapi tantangan masa depan.
ü Keunggulan : nilai ini berwujud mentalitas manusia dalam masyarakat yang menilai tinggi terhadap hasil karyanya.
ü Profesional : adalah masyarakat yang memiliki hasrat untuk melakukan eksplorasi lingkungan.
ü Supremasi Hukum : kehidupan manusia yang berlandaskan pada hukum dan aturan.
Nilai-nilai tersebut diatas, sudah tentu tidak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Perwujudan masyarakat madani merupakan suatu proses perubahan yang terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama pada berbagai bidang kehidupan.
d. Menuju Modernisasi Ekonomi dan Ketenagakerjaan
Dalam meniti suatu proses modernisasi, masyarakat Indonesia telah mengalami pergeseran secara bertahap dari sistem ekonomi subsistem menuju sistem ekonomi modern. Proses itu dibarengi oleh berbagai bentuk transformasi dalam jenis-jenis jabatan dan pekerjaan serta kualifikasi SDM yang dipersyaratkan. Perkembangan struktur angkatan kerja di Indonesia ditandai oleh terus berkurangnya kesempatan kerja pada sektor pertanian serta sektor-sektor subsistem lainnya dan perlahan-lahan berganti dengan bertambahnya kesempatan kerja pada sektor-sektor modern.
Berkembangnya pendayagunaan teknologi juga mengakibatkan perubahan komposisi angkatan kerja menurut jenis jabatan dan tingkatan keahlian para pekerja. Pendayagunaan teknologi juga berdampak pada berkembangnya desentralisasi dalam dunia produksi dan distribusi. Kesempatan kerja yang dibentuk oleh para pengusaha setempat dan daerah akan tumbuh dengan sendirinya. Sebagai akibat dari berkembangnya pendayagunaan teknologi dalam dunia produksi, pola-pola ketenagakerjaan akan berkembang dengan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut :
ü Berkembang pesatnya kebutuhan akan tenaga insinyur, teknolog, dan spesialisasi.
ü Tumbuhnya kebutuhan akan tenaga manajerial.
ü Menurunnya kebutuhan akan pekerja kasar, pengrajin, tenaga pelaksana yang tidak terampil serta buruh.
ü Bertambahnya kebutuhan akan tenaga kerja industri jasa.
Perubahan struktur pekerjaan dan jabatan tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran kebutuhan akan jenis-jenis pengetahuan dan ketampilan pekerja. Jenis-jenis pekerjaan dalam era teknologi yang diperkirakan akan berkembang ialah sebagai berikut.
Pertama, berkembangnya apa yang disebut mind worker yaitu pekerjaan yang lebih mengandalkan usaha manusia mendayagunakan kemampuan intelektual dan daya inovasi. Kedua, berkembangnya kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan belajar mandiri (self-training skill) agar dapat ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan sesuai dengan tingkatannya. Ketiga, berkembangnya kompleksitas keahlian dan keterampilan yang diperlukan (multiskilling). Keempat, berkembangnya kebutuhan tenaga kerja yang mampu mengolah dan mendayagunakan informasi (informasi handling capacity).
Berdasarkan tantangan ini, wawasan kita tentang mutu SDM harus diperluas. SDM yang bermutu bukan semata-mata dilihat dari aspek teknis tetapi juga menyangkut nilai sosial-budaya sebagai faktor dan br penggerak bagi SDM untuk tumbuh dab berkembang dalam era industri.
e. Menuju Berkembangnya Nilai Budaya Modern
Berdasarkan konsep ekonomi, produktivitas nasional harus didukung oleh tersedianya SDM yang terampil dan profesional yang mempu menjalankan kegiatan ekonomi produktif. Namun, masih banyak kalangan yang menganggap perlu adanya revitalisasi konsep manusia produktif. Kemampuan manusia dalam menguasai suatu cabang keahlian, keterampilan, dan iptek sudah tentu sangat diperlukan (necessary) mendukung produktivitas, namun belum dapat dikatakan mencukupi.
Dalam kaitan ini, pendidikan itu hanya berperan dalam peningkatan penguasaan keahlian dan keterampilan dalam iptek, tetapi juga mengembangkan nilai dan sikap yang mendorong tumbuh-kembangnya kemampuan manusia sepanjang hayat. Berikut ini dikemukakan berbagai aspek yang berkaitan dengan sistem nilai budaya dan orientasi nilai yang perlu dikembangkan dalam masyarakat Indonesia modern dimasa depan.

1. Sistem Nilai Budaya
Untuk menjadi produktif, manusia tidak hanya perlu dibekali dengan kemampuan dalam menguasai cabang-cabang keahlian, keterampilan dalam iptek tetapi juga dengan berbagai nilai dan siap sebagai pedoman bagi perlakunya, dan sebagai landasan semangat untuk bearkarya. Berbagai tata nilai yang memedomani kelakuan manusia bersumber dari suatu sistem yang disebut ‘sistem nilai budaya’ (cultural value system) yaitu suatu “tingkat yang paling abstrak dari adat dan kebiasaan hidup manusia dalam bermasyarakat.
2. Orientasi Nilai
Seperti dikemukakan terdahulu, untuk menjadi produktif manusia tidak hanya memerlukan keterampilan, keahlian, dan penguasaan iptek tetapi juga memerlukan suatu sistem nilai budaya. Sistem nilai budaya mempengaruhi sikap mental dan mentalitas manusia sebagai landasan perilakunya sehari-hari. Produktivitas manusia akan berubah sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam sikap mental atau mentalitas. Perubahan mentalitas sifatnya sangat mendasar sehingga dapat juga disebut perubahan dalam orientasi nilai.
3. Orientasi Kedepan
Orientasi kedepan merupakan orientasi nilai yang menganggap tinggi manusia yng memiliki wawasan kedepan dengan memperhitungkan berbagai kecenderungan dan tantangan secara cermat dan teliti. Selama masa PJP I, kita menyaksikan kemajuan pembangunan secara berfluktuasi dalam berbagai bidang. Ketidakpastian sering kali terjadi dalam cara-cara mencapai kemajuan dari sektor pembangunan. Kemajuan yang sudah dicapai pada suatu titik waktu tertentu sering tidak menjadi landasan bagi kemajuan yang harus dicapai pada waktu-waktu berikutnya. Sering pula ditemui, kemajuan suatu bidang pembangunan hanya merupakan suatu kemujuran yang mungkin tidak akan dapat dicapai dalam waktu-waktu berikutnya.
4. Orientasi terhadap Kekaryaan
Orientasi terhadap kekaryaan adalah orientasi nilai yang bersumber dari konsep yang dikemukakan oleh seorang ahli psikologi yang bernama D.C McClelland (1961), yaitu “Achievement Orientation” (AO). Orientasi nilai ini dibahas secara meluas dalam bukunya yang berjudul The Achieving Society. Orientasi terhadap kekaryaan akan berwujud mentalitas manusia yang selalu menilai tinggi terhadap hasil karyanya. Dorongan untuk mebuahkan hasil karya adalah kepuasan untuk menapai karya itu sendiri, dan bukan dorongan dalam bentuk lain, seperti mengejar harta, kedudukan , kehormatan, kekuasaan, dan sebagainya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, muncullah tuntutan untuk mengkonsepkan kembali pendekatan dan proses dalam manajemen publik yang lebih demokratis, partisipatif dan terdesentralisasikan.

f. Menuju Manajemen Publik yang Demokratis
Sekarang ini, pada waktu kita memasuki tahap untuk menuju suatu keseimbangan yang baru, adalah saat yang tepat untuk mengkaji ulang, peranan apatur negara dalam era globalisasi, persaingan, dan demokratisasi. Masyarakat Indonesia dalam era reformasi akan membangkitkan tuntutan dan kebutuhan yang berbeda terhadap aparaturnya dibandingkan masa lalu. Hal itulah yang menjadi kepedulian para ahli ilmu administrasi untuk mencari bentuk-bentuk kelembagaan pemerintah yang tepat yang dapat berperan sesuai tantangan-tantangan yang dihadapi dalam dunia yang makin cepat berubah.
Perkembangan teknologi yang pesat terutama pada belahan kedua abad ke-20, telah merubah pola kehidupan global menuju zaman baru. Upaya mencari bentuk birokrasi yang tepat untuk masa depan terus berlangsung sampai sekarang. Administrasi pemerintah sering kali bahkan hampir selalu ketinggalan dibandingkan dengan kemajuan dibidang lain seperti ekonomi, bisnis dan teknologi, yang mampu melahirkan teori teori dan pemikiran-pemikiran baru dalam manajemen.
Di sinilah letak pentingnya pembinaan manajemen pendidikan yang profesional, otonom, produktif, mampu bersaing sehat yang didukung oleh kemampuan aparatur pendidikan dan infrastruktur yang memadai.



g. Menuju Otonomi Manajemen Pendidikan Nasional
Pengelolaan pendidikan yang bermutu dan semakin merata akan menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Efisiensi pendidikan menuntut pengelolaan yang semakin terdesentralisasikan. Aparatur pendidikan daerah harus semakin mampu mengelola dan melaksanakan teknis kependidikan secara otonom. Hal ini diperlukan untuk membangun masyarakat di daerah masing-masing ke arah kemandirian untuk mencapai kehidupan yang semakin sejahtera dan merata.
Aparatur pendidikan, di pusat dan di daerah berperan penting dalam peningkatan peran serta efisiensi dan produktivitas masyarakat untuk membangun sistem pendidikan yang mandiri dan profesional. Salah satu sasaran pembangunan adalah mewujudkan desentralisasi daerah yang nyata, dinamis serta tanggung jawab. Titik berat desentralisasi daerah diletakkkan pada Kabupaten atau Kota yang juga akan berlaku bagi kebijaksanaan pengelolaan pendidikan nasional. Oleh karena itu, peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah amatlah mendasar peranannya, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang mendapat pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
Kecenderungan inilah yang semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.25/1999 tentang perimbangan anggaran pusat dan daerah. Dengan semakin kuatnya kemampuan penganggaran Kabupaten/Kota, maka pemerintah daerah akan semakin mampu untuk mengelola sistem pendidikan nasional. Realisasi otonomi dan desentralisasi di bidang pendidikan ini tentu saja memerlukan beberapa penyesuaian strategi mengenai aspek kelembagaan dan operasionalisasinya. Namun yang jelas, Menteri Pendidikan Nasional sejak pemerintahan Kabinet Presiden Abdurrachman Wahid ini tantangan yang tidak ringan dalam menempatkan ide-ide desentralisasi dan otonomi ini kedalam praktek-praktek pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.



Bab IV
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF MASA DEPAN

Pembangunan sistem pendidikan nasional sebagai salah satu sektor terpenting yang berorientasi pada pengembangan kualitas SDM sangatlah berbeda dengan pembangunan pada sektor fisik. Keberhasilan pembangunan pendidikan tidak semata-mata ditentukan oleh tersedianya anggaran pendidikan yang besar, namun juga ditentukan oleh faktor-faktor lain yang lebig penting. Faktor yang mungkin selama ini belum pernah, tetapi di masa depan akan dianggap paling penting adalah apa yang disebut policy perspective atau “cara berpikir yang benar” dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan sesuai dengan data dan informasi yang relevan sebagai sektor pelayanan publik.

a. Perkembangan Perspektif SDM Berkaitan dengan Pendidikan
Pengembangan SDM berlangsung sepanjang hayat melalui seluruh sirklus kehidupan yang dilakukan melalui berbagai bidang pembangunan yang kait-mengkait satu sama lain. Namun demikian, diantara bidang-bidang tersebut pendidikan merupakan komponen yang paling mendasar karena pendidikan dapat memberikan konstribusi terhadap pembangunan di bidang lain. Untuk itu diperlukan cara berpikir baru dalam pembangunan pendidikan untuk meningkatkan fungsinya sebagai kasalisator dalam pengembangan kualitas SDM secara menyeluruh.
Titik singgung antara pendidikan dengan masing-masing sektor pembangunan dan kehidupan masyarakat adalah SDM yang bermutu, karena SDM itulah yang akan menjadi pelaku-pelaku utama untuk pembangunan sektoral maupun kehidupan bersama. Pendidikan harus mampu menghasilkan manusia yang tidak menjadi beban tetapi sebaliknya menjadi sumber kekuatan atau penggerak (driving force) bagi keseluruhan sumber pembangunan dan kehidupan masyarakat. Dari sini muncullah suatu konsep pendidikan yang dikenal dengan efisiensi eksternal dengan penekanan pada hubungan timbal balik antara pendidikan dengan pembangunan dalam berbagai bidang.

Beberapa perspektif yang mengkaitkan antara pendidikan dengan pembangunan telah bearkembang paling tidak sejak empat dasawarsa yang lalu, dan dapat digolongkan ke dalam empat perspektif dalam kebijaksanaan pembangunan sektor pendidikan yang berbeda, yaitu sebagai berikut :
Pertama adalah perspektif pemerataan pendidikan (equality of educational opportunity) – yang mulai muncul pada awal tahun 1960an – memandang pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat, dengan catatan bahwa kesempatan pendidikan yang semakin merata merupakan faktor yang dapat mewujudkan kesejahteraan yang semakin pula.
Kedua adalah perspektif pendidikan dan pencapaian kedudukan seseorang (education and status attainment) yang mulai muncul pada akhir dasawarsa 1960-an dan telah melakukan kajian pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan status dan kedudukan seorang dalam masyarakat.
Ketiga perspektif Human Capital yang lebih menekankan pada fungsi pendidikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan penguasaan keterampilan, keahlian, profesi, dan penguasaan keilmuan yang dapat menjadikan para pekerja menjadi lebih produktif.
Keempat adalah perspektif pendidikan dan pengembangan SDM (education and human resources development). Perspektif ini muncul belakangan sejak mencuatnya isu pertumbuhan ekonomi yang cepat di sejumlah negara di Asia Timur sebagai akibat dari tumbuhnya ekonomi industri dan profesionalisme.

b. Pendidikan sebagai Investasi SDM
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu investasi SDM (human capital investment) sehingga mampu menciptakan iklim yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk turut andil atau berperan serta dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Selama ini, pendidikan dipandang sebagai suatu sektor pembangunan yang semata-mata dianggap sektor pembelanja anggaran negara (budget spender). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sektor pendidikan hanya memperoleh anggaran yang relatif kecil (dibandingkan dengan anggaran pendidikan, misalnya di negara-negara Asia Timur) karena di Indonesia membangun sektor pendidikan dianggap tidak mampu secara langsung menghasilkan tingkat balikan ekonomi yang memadai.
Karena sifatnya berjangka panjang, maka investasi pendidikan memiliki rentang waktu yang panjang pula. Jarak antara waktu seseorang menjalani pendidikan dengan waktu ia memasuki masa produktif dalam masyarakat dan lapangan kerja tidaklah pendek. Walaupun dihasilkan dari kemampuan perencanaan dan pemrograman jangka panjang dan berorientasi ke depan, persoalan pentingnya ialah bahwa isi (content) pendidikan harus dapat mewadahi dan memenuhi kebutuhan jangka pendek.
Invertasi SDM melalui pendidikan dapet dibedakan dengan berdasarkan pada tiga konsep dalam ekonomi publik, yaitu pendidikan sebagai barang dan jasa publik (public goods) ; pendidikan sebagai barang dan jasa produktif productive goods) ; dan pendidikan sebagai barang dan jasa kapital ( capital goods). Ketiga konsep ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan baik dalam penentuan prioritas pembangunan pendidikan maupun ke dalam berbagai tanggung jawab investasi SDM melalui pendidikan antara pemerintah dengan masyarakat. Menyangkut ketiga komponen tersebut, perimbangan antara investasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun swasta dan perorangan adalah isu kebijaksanaan pendidikan yang penting untuk dikaji lebih lanjut.
Pertama, pendidikan sebagai barang dan jasa umum ; investasi sektor pendidikan merupakan pembangunan infrastruktur publik (public investment) yang tidak berbeda dengan investasi pada infrastruktur lainnya seperti jalan, air bersih, drainase, tilpon dan lain sebagainya.
Kedua, pendidikan juga sebagai barang dan jasa produktif (productive goods); investasi pendidikan pada komponen ini diarahkan pada peningkatan produktivitas lulusan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah SDM setelah lulus pendidikan dan bekerja.
Ketiga, pendidikan yang berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencapai keunggulan (capital goods) ; investasi pendidikan pada komponen ini bertujuan untuk membentuk SDM unggulan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat menjadi sumber penggerak bagi produktivitas sektoral.

c. Komponen-komponen Pendidikan Nasional dalam Perspektif Investasi SDM
Untuk membangun dan mendirikan konsep pendidikan sebagai suatu investasi produktif ini, sistem pendidikan nasional dibangun berdasarkan tiga fungsi dasar secara berimbang, yaitu :
ü Mencerdaskan kehidupan bangsa ;
ü Mempersiapkan tenaga kerja cakap, terampil dan terlatih untuk dapat bekerja dalam berbagai sektor ekonomi industri, serta
ü Membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga fungsi dasar pendidikan dalam kaitannya dengan investasi SDM melalui pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, dalam kaitan dengan fungsinya mencerdaskan bangsa , sesuai dengan amanat yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, fungsinya dalam menyiapkan tenaga kerja dilakukan oleh komponen pendidikan yang disebut pendidikan keterampilan, pendidikan kejuruan, dan pendidikan profesional baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, termasuk kursus-kursus dan pelatihan kerja industri. Ketiga, fungsinya dalam penyiapan penguasaan keilmuan dilakukan melalui komponen pendidikan tinggi akademik. Cakupan dari komponen sistem pendidikan akademis ini ialah semua program pendidikan yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada setiap jenjang pendidikan sebagai sarana mencapai sektor industri di Indonesia dalam era persaingan globalisasi.
Ketiga fungsi dasar sistem pendidikan nasional ini saling berkaitan, saling melengkapi, dan saling bergantung satu sama lain. Agar masing-masing fungsi dapat diperankan dengan baik, sistem pendidikan nasional harus dilengkapi dengan tiga komponen sistem yang juga saling bergantung, yaitu kompenen pendidikan kompulsori, komponen pendidikan persiapan kerja, dan komponen pendidikan keilmuan.
1. Komponen Pendidikan Kompulsori
Komponen kompulsori adalah komponen penting dalam sistem pendidikan nasinal yang diperuntukan bagi semua warga negara, baik melalui satuan pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun melalui bidang kajian, pelajaran, atau mata kuliah dasar (core subjects) pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan.
2. Komponen Pendidikan Persiapan Kerja
Program persiapan tenaga kerja harus lentur terhadap perubahan kebutuhan pasar kerja dan senantiasa berwawasan lingkungan agar komponen pendidikan ini selalu sesuai dengan kebutuhan akan jenis-jenis keterampilan, keahlian dan profesi yang berubah.
3. Komponen Pendidikan Keilmuan
Pendidikan keilmuan dilakukan oleh pendidikan tinggi akademis yang juga dilakukan pada berbagai tindakan, yaitu pendidikan sarjana akademis, pendidikan magister akademis, dan pendidikan doktor akademis. Program pendidikan ini secara khusus menyiapkan tenaga ahli yang memiliki keunggulan dalam menguasai bidang keilmuan yang khusus, termasuk melakukan penelitian dan pengembangan kerangkan memperkaya perbendaharaan ilmu pengetahuan pada bidang keilmuan yang bersangkutan.

d. Mutu Pendidikan dalam Perspektif
Mutu pendidikan adalah karakteristik yang harus melekat pada sistem pendidikan itu sendiri. Kemampuan meningkatkan mutu harus dimiliki sekolah sebagai suatu sistem yang otonom tanpa tergantung pada atau dikendalikan oleh pihak luar, termasuk pemerintah. Peningkatan mutu erat kaitannya dengan kreativitas pengelolaan satuan pendidikan dan guru dalam pengembangan kemampuan belajar siswa.
Sampai saat ini, mutu pendidikan sebagai suatu konsep baru berkembang didalam pikiran orang-orang yang umumya hanya sebagai abstaksi. Pemikiran tentang mutu pendidikan akan banyak manfaatnya jika suatu konsep secara langsung dapat dioperasionalkan ke dalam tindakan yang lebih nyata. Sampai saat ini belum banyak analis pendidikan yang telah secara sistematis menyusun konsep mutu pendidikan sehingga dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Terdapat dua jenis efisiensi yang sering dibahas dalam ilmu ekonomi, yakni efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Disatu pihak efisiensi teknis menunjuk pada pencapaian tingkat atau kantitas tertentu dari keluaran fisik sebagai produk kombinasi berbagai jenis dan tingkat berbeda. Di lain pihak, efisiensi ekonomis menunjuk pada ukuran-ukuran kegunaan atau harga baik dari berbagai jenis masukan pendidikan yang digunakan maupun dari keluaran yang dicapai. Jadi, dua jenis efisiensi itu menunjuk kepada pengertian konseptual yang sama, tetapi mengandung cara penerapan yang berbeda.
Berdasarkan hal-hal diatas, konsep efisiensi berkaitan dengan pendayagunaan secara optimal sumber-sumber pendidikan yang terbatas untuk mencapai tingkat keluaran yang optimal. Untuk mencapai program pendidikan yang efisien, sumber-sumber daya pendidikan harus didistribusikan secara adil dan merata serta didayagunakan secara efisien. Dengan kata lain, suatu program pendidikan yang efisien ialah yang mampu menciptakan keseimbangan antara sumber-sumber yang dibutuhkan dan yang sudah tersedia guna mengurangi hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu, mutu pendidikan dapat dipahami sebagai kemampuan dari suatu sistem pendidikan untuk mengalokasikan sumber-sumber pendidikan secara adil sehingga setiap peserta didik memperoleh kesempatan yang sama untuk mengakses pendayagunaan sumber daya pendidikan tersebut dan mencapai hasil yang optimal. Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa mutu pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi, pemerataan, dan keadilan.
Berbicara mengenai mutu pendidikan terkait erat dengan kemampuan lembaga pendidikan pada setiap jenjang dalam menyajikan muatan programnya. Mutu pendidikan harus terwujud dalam kemampuan lembaga pendidikan untuk mengatur dan mengelola sumber daya pendidikan secara efisien agar dapat meningkatkan kemampuan belajar, di satu pihak dan penguasaan keahlian di lain pihak (Ace Suryadi, 1992). Tingginya mutu pendidikan tercermin dari tingginya hasil belajar siswa, namun proses pendidikan yang bermutu tidak berarti harus secara langsung mengajarkan pengetahuan. Prestasi belajar yang tinggi seyogiannya dihasilkan dari meningkatkan kemampuan siswa yang tinggi untuk belajar secara berkelanjutan atau mampu belajar sepanjang hayat. Mutu pendidikan ditentukan oleh dua kemampuan pennting sekolah, yaitu kemampuan sekolah secara teknis kependidikan dan kemampuan dalam bidang pengelolaan. Prestasi belajar siswa dilahirkan dari kemampuan sekolah untuk mengelola suasana sekolah yang kondusif untuk siswa agar dapat belajar sebanyak mungkin melalui kegiatan belajar mandiri dan berkelanjutan.
























Bab V
MEWUJUDKAN INSTITUSI PENDIDIKAN YANG MANDIRI, OTONOM, DAN PROFESIONAL

Jalan menuju otonomi daerah sudah cukup panjang, dan kini sudah mulai bergulir sejak keluarnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah. Salah satu implikasi otonomi daerah menyangkut perimbangan keuangan Pusat Daerah yang sekarang sudah diatur dengan UU No.25/1999. Perencanaan dan implementasi pembangunan seluruh bidang pemerintahan dilakukan di Daerah Kabupaten dan Kota kecuali bidang-bidang yang bersifat strategis seperti Pertahanan dan Keamanan, Politik Luar Negeri, Peradilan, Pengendalian Moneter, dan Agama. Secara institusional, pelaksanaan pemerintahan otonomi pemerintahan itu membawa akibat pada penghapusan kantor-kantor pusat di daerah seperti kandep bahkan kanwil departemen.
Sebagai salah satu sektor penting, pendidikan juga merupakan bidang pemerintahan yang juga didesentralisasaikan dengan menyoroti peranan pemerintah pusat, propinsi, pemerintah daerah bahkan satuan unit pelaksana teknis. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam kerangka ekonomi daerah, yaitu sharing sumber-sumber keuangan dan wewenang antara Pusat Daerah.
Dengan penyerahan wewenang pengelolaan pendidikan, berarti pemerintahan daerah kabupaten/kota memiliki kuleluasaan dalam mengelola dan membina pendidikan secara mandiri agar dapat mencapai sasaran program pembangunan pendidikan dasar dan menengah. Wewenang itu mencakup berbagai tahapan sejak pengambilan keputusan, pemerograman, implementasi, monitoring program, sampai dengan pengadaan sarana-sarana pendidikan.
Dengan demikian insatansi yang stategis dalam pelaksanaan otonomi khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan dasar 9 tahun adalah Dinas Pendidikan Dasar (yang dibangun dengan memperluas fungsinya) berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pendapatan dan/atau Perpajakan Daerah, dan Dinas Pekerjaan Umum. Dinas Pendidikan Dasar harus merupakan gabungan dengan aparat-aparat Kanwil yang rata-rata selama ini memiliki kemampuan teknis kependidikan yang lebih tinggi.

a. Peranan Pemerintah Pusat
Salah satu kebijaksanaan penting pemerintah pusat adalah penetapan standar minimum dalam rangka mengendalikan mutu pendidikan secara nasional (national benchmarking). Fungsi ini antara lain diwujudkan melalui penetapan standar minimal hasil-hasil pendidikannya. Pengendalian menyangkut dua aspek, yaitu aspek administrasi – yakni perimbangan dalam alokasi sumber daya pendidikan – serta aspek-aspek substansi – yaitu pencapaian mutu hasil pendidikan.
Sementara itu pengendalian aspek administratif (misalnya penenpatan guru, distribusi buku, penataran guru, dsb) dilakukan oleh Pemerintah Daerah Otonom, agar rentang pengawasan tidak jauh. Pada tingkatan sekolah, pengendalian mutu pendidikan tidak juga difungsikan melalui lembaga sejenis Dewan Pendidikan Daerah sebagai lembaga akuntabilitas yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil pembayar atau pemberi kontribusi terhadap anggaran pendidikan. Dalam mekanisme ini, sekolah harus mempertanggungjawabkan hasil-hasil pendidikanyang dicapai kepada semua pihak yang secara proposional memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan – misalnya orang tua murid, pemerintah daerah, organisasi sosial, dan sebagainya yang benar-benar memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan.

b. Stakeholder dalam Pendidikan
Secara umum, setiap lembaga pendidikan memiliki apa yang disebut kostituen pendidikan (Educational Constituency) atau berbagai pihak yang secara langsung atau tidak memiliki dengan, atau berpengaruh terhadap pendidikan. Namun, dalam kaitannya dengan demokratisasi pendidikan, konsep-konsep kontituen pendidikan ini perlu dikembangkan dengan menggunakan konsep stakeholder. Menurut Gareth R. John (1995) “stakeholder are people who have interest claim, or stake in the organization, in what it does, and in how well it performs”. Jadi stakeholder adalah orang-orang yang memiliki minat, kepentingan, serta “kekuasaan” didalam suatu organisasi terutama apa yang dilakukan serta bagaimana kemampuannya dalam mancapai tujuan organisasi tersebut.

Berdasarkan konsep itu, stakeholder pada dasarnya adalh pemengang kekuasaan dari suatu organisasi yang memiliki wibawa untuk menentukan arah, kebijaksanaan, serta daya dukung organisasi dalam rangka melaksanakan jalannya suatu organisasi untuk mencapai tujuan. Dalam sistem manajemen demokrasi, kekuasaan itu tidak dimiliki oleh seseorang tetapi kelompok orang atau berbagai pihak yang memiliki pengaruh atau kewenangan. Di antara sumber-sumber kewenangan itu adalah, kekuasaan birokrasi pemerintahan, kekuasaan rakyat atau pengguna jasa pendidikan, dan kekuasaan yang bersumber dari kelahiran dan profesionalisasi sumber daya manusia yang ikut menentukan arah dan jalan pendidikan.
Pertama, kekuasaan yang bersumber dari birokrasi pendidikan sangat menonjol pengaruhnya terhadap jalannya sistem pendidikan selama Orde Baru yang sepenuhnya sentalistik. Dalam sistem birokrasi ini, satu-satunya pemegang kekuasaan pendidikan adalah aparat-aparat birokrasi dengan mata rantai yang sangat panjang mulai dari menteri, dirjen, direktur, kepala Dinas Propinsi, kepala Dinas Kabupaten/Kota, cabang Dinas Kecamatan, sampai ke kepala unit pelaksana teknis pendidikan atau satuan pendidikan.
Kedua, kekuasaan yang bersumber dari rakyat atau pengguna jasa pendidikan sampai saat ini masih sangat kecil dan mungkin belum eksis secara signifikan di dalam sistem pendidikan nasional kita. Ketiga, kekuasaan yang bersumber dari keahlian atau profesionalisme SDM sampai saat ini belum eksis dalam sistem pendidikan nasional kita. Kemampuan profesional atau keahlian profesional.

c. Debirokratisasi Managemen Pendidikan
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokrasi dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan katerpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak pernah terhenti dari keterpurukan. Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokrasi bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggung jawab” mulai berubah dan hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumber daya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Walaupun gagasan MBS ini datang dari pusat, tetapi tidak berarti bahwa skateholder pendidikan itu harus terdiri semata-mata aparat pusat.
Pengelolaan sistem pendidikan nasional sehari-hari di daerah adalah Dinas Pendidikan Pemda setempat. Dinas pendidikan bukan pemegang kebijaksanaan yang tinggal tetapi pengelolaan pendidikan yang berfungsi melaksanakan, mengkoordinasikan serta mengadministrasikan kebijakan yang dibuat oleh para skateholder pendidikan pusat maupun daerah serta menjabarkannya melalui mekanisme dan prosedur pengelolaan pendidikan sehari-hari. Dinas Pendidikan juga mengkoordinasikan berbagai pihak dan memelihara agar setiap prosedur dan mekanisme pengelolaan pendidikan dapat berjalan secara berkelanjutan.
Untuk itu, Dinas Pendidikan perlu dibantu oleh lembaga penelitian dan pengembangan daerah. Sementara Balitbang dan kantor-kantor pendidikan di tingkat pusat berperan dalam mengembangkan dan merumuskan kebijakan makro pendidikan secara nasional, Badan litbang daerah berkaitan dengan operasional pelaksanaan dan kantor pendidikan tingkat pusat juga berfungsi memberikan bantuan teknis kepada litbang-litbang di daerah otonom. Badan Litbang Pendidikan Daerah tidak selalu harus melaksanakan seluruh penelitian dan mengembangkan pendidikan tetapi membuat blue-print yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga profesional swasta.

Dalam penyelenggaraan pendidikan yang otonom, sistem pengujian tidak harus dilakukan oleh pemerintah atau Dinas Pendidikan. Dalam hal ini perlu diterapkan konsep industri dalam bidang pengujian pendidikan agar sistem ujian tidak bernuansa birokratik. Pemerintah pusat atau daerah tidak perlu menyelenggarakan sistem ujian sekolah sendiri, tetapi menetapkan standar-standar dimana pelaksanaan ujian tersebut “dikontrakkan” kepada pihak perusahaan untuk mengukur peningkatan atau perubahan dalam mutu pendidikan.
Akhirnya pengadaan dan distribusi buku dan alat-alat pelajaran seharusnya juga dilaksanakan oleh pihak industri, berdasarkan standar-standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan industrialisasi ini maka profesionalisasi di bidang ini akan berkembang dan perusahaan swasta didaerah juga berkembang dengan sendirinya. Lebih dari segalanya, dengan industrialisasi bidang ini maka efektivitas dan mutu pelayanan mengenai buku dan sarana belajaran yang dapat menunjang mutu pendidikan juga akan dapat diwujudkan.

d. Menuju Profesionalisme Bidang Pendidikan
Mutu pendidikan masihmerupakan permasalahan yang cukup mendasar dari sistem pendidikan di Indonesia, khususnya dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang dapat bersaing di era global. Mutu pendidikan masih merupakan suatu konsep yang abstrak sehingga sulit untuk dioperasionalkan menjadi kebijakan dan tindakan yang nyata. Permasalahan mutu masih menjadi bahan perbincangan panjang sehingga sulit bagi pemerintah untuk menjabarkannya menjadi tindakan-tindakan yang nyata sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi semakin realistis. Dalam kaitan profesionalisme itu, para teoritikus Neo-Klasik menggunakan pendekatan konsep efisiensi dalam peningkatan mutu pendidikan.
Dilihat dari konsep efisiensi ekonomis, setiap program pendidikan harus mempunyai kemampuan bersaing dengan program-program pendidikan lain. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh setiap lembaga atau program pendidikan agar dapat mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan dapat menghasilkan keluaran yang bermutu secara efisien. Dalam profesionalisme di bidang pendidikan, setiap lembaga pendidikan dihadapkan pada para pesaing yang berusaha keras untuk menghasilkan tingkat mutu keluaran lebih tinggi dengan biaya yang sama atau bahkan lebih rendah. Program-program pendidikan seperti ini akan memaksa program-program pendidikan lain yang kurang efisien untuk keluar dari persaingan pasar.
Dilihat dari konsep efisiensi teknis, pendidikan yang profesional harus didukung oleh para pelaksana pendidikan yang profesional. Guru yang profesional adalah yang mampu mengelola pembelajaran yang inovatif, sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik pada setiap waktu dan wilayah. Guru belajar mengajar atas dasar pemahaman terhadap potensi dan kebutuhan peserta didik. Guru juga harus mampu melakukan penilaian serta menggunakan hasil-hasil penilaian tersebut bagi peningkatan mutu pembelajaran. Dilihat dari pengelolaan institusi pendidikan secara keseluruhann, terdapat beberapa ciri utama dalam melihat pengelolaan pendidikan yang profesional, yaitu otonomi pengelolaan, akuntabel terhadap klien, serta inovasi yang berkelanjutan.
Pertama, otonomi pengelolaan pendidikan yang profesional dilakukan oleh organisasi atau lembaga yang otonom, yaitu lembaga yang mampu mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, baik menyangkut pengelolaan kualitas SDM, anggaran, serta struktur dan mekanisme organisasi. Kedua, akuntabel terhadap klien dalam pengelolaannya yang profesional, skateholder pendidikan bukan hanya pda pemerintah, tetapi juga pada klien itu sendiri. Ketiga, inovasi yang berkelanjutan dalam pengelolaan pendidikan yang profesional bertanggung jawab terhadap keberhasilan atau kegagalan pendidikan terletak pada para pelaksana pendidikan seperti guru, tenaga teknis dan kepala sekolah. Para pelaksana pendidikan akan selalu dihadapkan pada klien, yang meminta pertanggungjawaban mereka atas dasar hasil yang dicapai.

e. Profesionalisme dalam Praktek Pendidikan Masa Kini
Pelaksanaan profesionalisme di bidang pendidikan, pada dasarnya ditentukan oleh tiga bentuk mekanisme utama, yaitu adanya standar profesi dan Kode Etik Jabatan, sertifikat profesional, serta mekanisme akuntabilitas lembaga maupun SDM kependidikan.
Pertama, standar kompetensi dan kode etik jabatan ; dalam dunia profesionalisme ditetapkan standar profesi baik untuk para pengelola pendidikan maupun untuk para pelaksana pendidikan. Standar ini penting artinya agar setiap lembaga atau SDM yang profesional dapat mengacu pada standar profesi tersebut, sehingga dapat memelihara status profesionalisme mereka setiap saat.
Kedua, sertifikat profesional ; seorang profesional harus mampu meyakikkan klien mereka bahwa mereka memiliki kemampuan seperti yang dituntut oleh Standar Profesi dan Kode Etik Jabatan. Di lain pihak, para klien pendidikan juga harus yakin bahwa mereka akan mendapatkan pelayanan yang sebaik mungkin. Untuk itu diperlukan suatu proses sertifikasi profesional yang dikeluarkan oleh suatu lembaga atau organisasi yang dipercaya untuk mengeluarkan sertifikat profesi tertentu.
Ketiga, akuntabilitas profesional ; agar memperoleh keyakinan bahw pelayanan yang diberikan oleh kepala sekolah dan guru dapat memberikan kepuasan terhadap clien pendidikan, maka harus dilakukan pengaturan terhadap mekanisme akuntabilitas guru dan kepala sekolah. Dalam era ekonomi dan desentralilasi Indonesia, profesionalisme dibidang pendidikan seyogiannya dapat dilakukan melalui berbagai bentuk sesuai dengan komponen pendidikan masing-masing.
Pertama, pendidikan dasar dan menengah; desentralisasi dilakukan pada pemerintah kabupaten/ kota, berdasarkan kebijakan, norma dan standar yang ditetapkan pemerintah pusat. Kedua, komponen pendidikan persiapan kerja; pada pendidikan kejuruan, kursus-kursus atau pelatihan kerja industri, profesionalisme pendidikan dilakukan pada setiap lembaga pendidikan. ketiga, komponen pendidikan tinggi; profesionalisme dibidang pendidikan tinggi berlangsung pada setiap perguruan tinggi secara otonom.

f. MBS : Paradigma Baru Pengelolaan Pendidikan
Manajemen berbasis sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun tidak berarti paradigma ini baru sama sekali karena pernah kita miliki sebelum Inpres No.10/1973. Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.

Perlu juga dipahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksana Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika DP dan KS adalah alat untuk penarikan iuran karena penarikan iuran yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggung jawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih dipahami adalah fungsi Dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan disekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan disekolah. Dengan konsep MBS masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa bertanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan didalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan iuran bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, pikiran bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung disekolah-sekolah.
Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanaan capacity building bagi setiap satuan pendidikan masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Capacity buiding dilakukan untuk meningkatkan suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ketahap berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap Pra-formal; satuan-satuan pendidikan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis yaitu belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Tahap Formalitas; satuan-satuan pendidikan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Tahap Tradisional; satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberiken pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices layanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan.

g. Otonomi Pengelolaan Pendidikan Pada Tingkat Sekolah
Peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan ditingkat sekolah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat serahkan sebagai urusan yang jadi kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut.
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu dan tata tertib sekolah. Urusan ini sangat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah seyogiannya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu dan tata tertib sekolah. Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru dan tenaga administratif yang dimiliki. Ketiga, menetapkan kegiatan intrakulikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. Keempat, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah, provinsi dan kabupaten. Keenam, proses pengajaran dan pembelajaran merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Ketujuh, urusan teknis edukatif sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal menjadi tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan pendidikan.

h. Pemberdayaan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan
Desentralisasi pendidikan ditingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai keujung tombak pendidikan dilapangan. Jika kantor cabang dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/ kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dalam proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran nyata dalam perencanaan, pelaksanaan dan laporan mengenai pelajaran pendidikan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena proses interaksi edukatif disekolah merupakan inti dari proses pendidikan yang sebenarnya. Oleh k arena itu, bentuk desentralisasi pendidikan yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata didalam masyarakat.
Dengan demikian, prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.
Pertama, penyusunan rencara dan program; sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan, sekolah bertanggungjawab dalam menentukan kebijakan sekolah, dalam melaksanakan kebijakan pendidikan sesuai dengan arah pendidikan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional, sekolah-sekolah bertugas untuk menjabarkan kebijakan pendidikan nasional menjadi program-program operasional penyelenggaraan pendidikan dimasing-masing sekolah.
Kedua, penyusunan rancangan anggaran pendapat dan belanja sekolah (RAPBS); dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom, sekolah berperan dalam penyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau satu tahun ajaran kedepan perlu dituangkan kedalam kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai dengan pos-pos pengeluaran pendidikan ditingkat sekolah.
Ketiga, pelaksanaan program pendidikan; pelaksanaan sistem pendidikan pada masa orde baru secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan mata rantai yang panjang sejak tingkat pusat, daerah bahkan sampai tingkat satuan pendidikan.
Keempat, akuntabilitas pendidikan; dalam masa orde baru satu-satunya pihak yang berwenanguntuk meminta pertanggungjawaban pendidikan kesekolah-sekolah adalah pemerintah pusat. Pada waktu itu, pemerintah pusat telah menetapkan kaki tangannya diseluruh pelosok tanah air melalui pemeriksa, pengawas atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban sekolah-sekolah mengenai proses pendidikan yang berlangsung disekolah-sekolah. Jika terdapat “penyimpangan administratif” yang dilakukan oleh kepala sekolah atau guru-guru, maka kepada mereka diberikan sanksi administratif, seperti teguran resmi, penilaian melalui DPK, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dan sejenisnya.
Keberhasilan dalam pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebuah keniscahyaan yang perlu dilakukan secara teliti, cermat dan terus menerus. Namun perlu diwaspadai, pemberdayaan DP dan KS tersebut tidak mengarah pada perwujudan birokrasi baru yang sangat menggejala dimasa-masa lalu. Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga adalah menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. DP dan KS pada intinya adalah wakil masyarakat dan keluarga yang dapat menjadi jalan masuk yang tepat agar masyarakat dapat berpartisipasi dan rasa ikut memiliki terhadap sistem pendidikan yang berlangsung disekolah-sekolah yang ada dilingkungannya masing-masing.





Bab VI
BEBERAPA AGENDA PENDIDIKAN NASIONAL

a. Kompetensi Dasar dan Tujuan Pendidikan
Pendidikan nasional berorientasi pada perwujudan tatanan baru kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani Indonesia. Masyarakat baru yang bersifat pluralistik yang berkepribadian Indonesia diharapkan mampu mendorong semangat kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka mengejar cita-cita dan harapan masa depan yang cerah. Pendidika dimasa depan harus mampu mempercepat terbentuknya tatanan masyarakat yang; pertama, menghargai perbedaan pendapat sebagai manifestasi dari rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara serta memantapkan kehidupan demokrasi disemua bidang; kedua, tertib , sadar hukum, memiliki budaya malu, dan mampu menciptakan keteladanan; serta ketiga, memiliki rasa percaya diri, mandiri dan kreatif, memilik etos kerja yang tinggi serta berorientasi terhadap penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam memacu keunggulan bangsa dalam kerangka persaingan dunia.
Penanaman kompetensi dasar ini diharapkan dapat membantu kualitas dan intensitas belajar para peserta didik secara maksimal agar mereka mampu menggunakan seluruh indera secara terpadu untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin. Melalui pengembangan kualitas SDM, masyarakat Indonesia menuju kepada suatu keseimbangan baru setelah berhasil keluar dari krisis. Titik berat pembangunan harus diletakkan pada kemandirian dan keunggulan bangsa melalui pengembangan sektor-sektor ekonomi industri dengan nilai tambah yang tinggi.
Namun demikian faktor terpenting yang dapat menentukan tumbuhnya kemandirian bangsa itu sendiri bukan melimpahnya kekayaan alam, melainkan SDM yang bermutu yang mampu mengolah dan memelihara produktifitas sumber daya alam tersebut untuk tujuan kesejahteraan masyarakat yang semakin merata. Dengan kata lain tujuan utama pembangunan pendidikan nasional adalah meningkatkan sumber daya manusia yang mandiri yang mampu memberdayakan sumber-sumber daya alam dan manusia untuk kesejahteraan masyarakat secara merata dan adil.
Kemandirian bangsa Indonesia akan ditentukan oleh mutu SDM yang dihasilkan oleh sistem pendidikan nasional. SDM yang bermutu itu sendiri dapat diidentifikasikan paling tidak dalam tiga karakteristik yang paling dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Menguasai suatu bidang keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Memiliki kemampuan untuk bekerja secara profesional yang selalu berorientasi terhadap mutu dan keunggulan; dan
3. Mampu menghasilkan karya-karya unggul dan mampu bersaing dalam lingkup lokal, nasional dan global berdasarkan keahlian dan profesinya itu.
Ketiga karakteristik dasar tersebut sebaiknya dijadikan substansi pokok sistem pendidikan nasional dan sekaligus sebagai tujuan dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Berkembangnya ketiga karakteristik yang generik tersebut masih harus didukung oleh beberapa karakteristik penunjang yang juga harus dikembangkan melalui proses pendidikan, yang menyangkut berbagai unsur perilaku kemanusian.

b. Beberapa Agenda Kebijaksanaan Pendidikan
Berdasarkan wawasan mengenai mutu pendidikan yang dikemukakan diatas, berikut ini dikemukakan paling tidak delapan agenda penting yang harus menjadi pusat perhatian dalam membangun pendidikan sebagai konsekuensi logis dari reformasi dalam bidang kehidupan.
1. Pendidikan untuk Semua
Pendidikan untuk semua perlu diperluas wawasannya. Komponen pendidikan ini harus menjadi landasan yang kokoh untuk mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien dalam rangka mewujudkan pembentukan mutu SDM. Pada dasarnya, komponen pendidikan untuk semua bisa dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu :
ü Program pendidikan dalam satuan pendidikan dasar (SD dan SLTP)
ü Bidang-bidang studi (mata pelajaran atau mata kuliah) yang harus diperoleh semua peserta didik pada semua jalur, jenis, dan jenjang.
ü Garapan Pendidikan untuk Semua lainnya, seperti : pendidikan pra-sekolah, pendidikan luar biasa (handicap), pendidikan keaksaraan (Paket A, Paket B, dan pembatasan buta aksara), pendidikan keluarga, dsb.
Kebijaksanaan peningkatan mutu pendidikan tetap masih harus menjadi sasaran prioritas tertinggi yang masih mungkin tergantikan oleh kebijaksanaan lain. Berdasarkan mutu perspektif pendidikan di atas, strategi peningkatan mutu pendidikan di SD seyogianya dilakukan melalui tiga pendekatan sekaligus, yaitu : pendidikan substansi pendidikan, pendekatan teknis pendidikan, serta pendekatan pengelolaan pendidikan. isi kurikulum (core curriculum content) yang berorientasi pada proses pembelajaran murid secara maksimal pada intinya dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu :
Pertama, isi kurikulum yang berkaitan dengan kemampuan dasar belajar (basic learning skills) seperti kemampuan membaca (menyerap informasi melalui bahan bacaan secara cepat), berhitung (berlatih logika anka dan ruang), menulis, mendengar dan menyimak, serta mengenal permasalahan lingkungan agar dapat berlatih untuk memecahkannya.
Kedua, isi kurikulum yang berkaitan dengan substansi belajar (basic learning contents). Isi pelajaran tidak perlu selalu disampaikan melalui kuliah atau ceramah karena perolehan pengetahuan bisa dilakukan melalui kegiatan memabaca buku pelajaran, manual, pengumuman, berita serta pengamatan masalah sosila di lapangan melalui mass media.
Ketiga, melalui pendekatan teknis (technical approach) mutu pendidikan ditingkatkan melalui pendekatan belajar tuntas. Pendekatan ini mensyaratkan para peserta didik untuk dapat belajar pada setiap tahapan hingga mencapai tahap penguasaan yang tinggi.
Keempat, pendekatan pengelolaan (managerial approach) mutu pendidikan ditingkatkan melalui penguatan kemampuan setiap satuan lembaga pendidikan dalam menerapkan strategi khusus secara sendiri-sendiri. Melalui manajemen berbasis sekolah, misalnya kepala sekolah diberi tanggung jawab sepenuhnya untuk meneliti, mengkaji, dan memahami permasalah mengenai alokasi dan pendayagunaan sumber daya pendidikan secara optimal yang dapat menghambat prestasi belajar.

2. Pendidikan Persipan Kerja
Pendidikan kejuruan dituntut untuk selalu menyesuaikan diri dengan jenis-jenis pekerjaan dan jabatan yang berubah dan semakin beragam. Tenaga kerja yang menguasai berbagai bidang kejuruan yang terus berubah semakin dibutuhkan untuk menjembatani tenaga profesional dengan sistem produksi yang berkembang. Jenis keterampilan yang terus berkembang menuntut pendidikan kejuruan untuk dapat menawarkan program pendidikan yang luwes agar mampu menjawab setiap perubahan jenis keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan.
Berdasarkan kajian analisis yang dilakukan sampai saat ini, terhadap beberapa kelemahan yang dimiliki oleh pendidikan kejuruan melalui SMK. Diantara kelemahan yang secara intrinsik dimiliki oleh sekolah-sekolah kejuruan antara lain adalah sebagai berikut :
ü SMK menyuguhkan program kejuruan yang menghasilkan tenaga tingkat terampil dan mahir yang sebenarnya dapat dibentuk melalui kursus-kursus keterampilan yang lebih singkat dan murah.
ü Dengan program pendidikan kejuruan selama ini yand kurang luwes terhadap perubahan kebutuhan lapangan kerja.
ü Kurikulum SMK sebagai pendidikan sekolah tidak mudah dirubah.
ü SMK tidak mampu meningkatkan daya serap lulusannya pada lapangan kerja yang ada selama ini.
ü Dengan biaya yang relatif lebih mahal, pendidikan di SMK tidak efisien karena menghasilkan tingkat balikan yang lebih rendah dibendingkan dengan pendidikan menengah umum.
ü Masukan murid SMK yang cenderung dikategorikan sebagai lulusan SLTP “kelas dua” dengan kualitas yang kurang mampu bersaing.
Sementara itu, pendidikan kewirausahaan tingkat tinggi bisa dilakukan melalui pendidikan tinggi profesional bekerja sama dengan industri dan dunia usaha. Pada tingkatan rendah pendidikan kewirausahaan dapat dilakukan melalui pembinaan usaha-usaha kecil yang dirintis melalui pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi yang didukung oleh kebijaksanaan kredit investasi kecil yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Untuk itu agenda-agenda pengkajian dan penelitian terhadap pendidikan kejuruan sebagai pendidikan persiapan kerja perlu dilakukan agar memp menyiapkan pekerjaan pada berbagai tingkatan berikut ini.
ü Pekerjaan tingkatan terampil dan mahir dipersiapkan melalui SLTP ditambah dengan berbagai jenis program pendidikan lanjutan seperti kursus-kursus keterampilan, pelatihan kerja industri, atau belajar sendiri sampai memperoleh sertifikat katerampilan.
ü Pekerjaan tingkatan semi profesional dipersiapkan melalui pendidikan menengah umum ditambah dengan kursus-kursus keahlian, pelatihan kerja industri, atau pendidikan tinggi profesional atau politeknik dalam suatu bidang profesi tertentu.
ü Pekerjaan tingkatan profesional dipersiapkan oleh pendidikan tinggi profesional pada berbagai tingkatan, yaitu pendidikan sarjana profesioanal, pendidikan megister profesional, dan pendidikan doktor profesional.

3. Pendidikan Tinggi Keilmuan
Pembangunan pendidikan tinggi dimasa depan perlu diarahkan pada perwujudan otonomi perguruan tinggi. Perlu penataan manajemen pendidikan tinggi yang lebih kondusif bagi peningkatan mutu dan keunggulan pendidikan secara berkelanjutan. Hal ini penting untuk menciptakan iklim persaingan mutu antar perguruan tinggi yang semakin sehat, baik dalam lingkungan nasional, regional, maupun global. Tantangan otonomi pendidikan tinggi dapat diwujudkan melalui penerapan konsep industri pendidikan dengan menjadikan sebagian perguruan tinggi dapat dikelola secara otonom sebagai suatu industri yang bertujuan untuk memaksimalkan pelayanan mutu kepada masyarakat pemakai jasa pendidikan.
Oleh karena itulah kemampuan perguruan tinggi dalam penyusunan anggaran pendidikan perlu ditingkatkan melalui dua pendekatan, sebagai berikut :
ü Pengkajian, penataan, serta peningkatan efisiensi pengelolaan pendapatan universitas sehingga dapat memberikan pelayanan pendidikan yang semakin bermutu dan dapat dijual dengan harga yang memadai. Perguruan tinggi perlu menjalin hubungan dengan industri atau lembaga lain yang antara lain bertujuan untuk meneliti dan pengembangan, magang, dan pelatihan kerja.
ü Penerapan sistem subsidi pemerintah dengan menggunakan pendekatan berdasarkan output. Subsidi ini diberikan berdasarkan tinggi atau rendahnya mutu pelayanan pendidikan yang dipertanggungjawabkan kepada pemerintah.
Untuk itu, hasil-hasil akreditasi yang dilaksanakan oleh lembaga yang netral dapat digunakan untuk menentukan kualitas pelayanan suatu perguruan tinggi. Namun demikian, penentuan kualitas suatu perguruan tinggi seyogianya tetap didasarkan pada tinggi-rendahnya kualitas pelayanan pendidikan yang mereka berikan dan dapat dirasakan oleh lulusan sebagai pemakaian jasa pendidikan.

4. Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Menyongsong pertambahan kebutuhan guru yang bermutu dan profesional dalam jumlah yang memadai, pendalaman struktur lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) perlu segera dilakukan. Sistem Pendidikan Guru yang sekarang tergabung di dalam universitas, ditata kembali di dalam sistem yang terpadu. Sistem pendidikan guru ini disamping memiliki kemampuan untuk menyiapkan tenaga guru baru yang bermutu, juga mengembangkan kualitas tenaga guru yang sudah bekerja, melakukan penilaian untuk promosi, serta melaksanakan perencanaan tenaga guru dalam jumlah dan mutu yang memadai.
LPTK sebagai sebuah “Kapal Induk” tentu saja tidak mudah bergerak mengikuti kebutuha pasar yang terus berubah setiap saat. Dengan demikian perlu dihasilkan pemikiran untuk dapat mengarahkan suatu perubahan agar dapat membantu LPTK memiliki ketahahana yang utuh dan berombang-ambing oleh kebutuhan yang terus berubah secara beraturan. Dalam keadaan bahwa sistem pendidikan masih lebih banyak dikendalikan oleh birokrasi, paling tidak sampai saat ini, tantangan utama bagi LPTK bukanlah pasar dalam pengertian yang sepenuhnya kompetitif, tetapi program-program dan kebijakan pemerintah yang mendapat prioritas tertinggi sekarang dan pada waktu-waktu mendatang. Perlu pemikiran dan antisipasi dari perencanaan LPTK agar menghasilkan guru-guru dan tenaga kependidikan lain, baik dalam jumlah, jenis keahlian, serta mutunya yang sesuai dengan perubahan zaman.
Tugas LPTK ialah melaksanakan studi perencanaan tentang kebutuhan guru dan tenaga kependidikan lainnya sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kegiatan studi lapangan kerja ini sebaiknya merupakan suaty kegiatan rutin dari LPTK, khususnya pada suatu daerah tempat LPTK tersebut berada. Kebutuhan guru tidak semata-mata jumlah dan komposisinya menurut jurusan, tetapi juga mutunya yang harus direspon berdasarkan studi empiris di lapangan. Untuk itu kerjasama antara LPTK sebagai penghasil tenaga guru dengan kantor-kantor pendidikan pemakai guru dan tenaga kependidikan lainnya di daerah perlu dilakukan secara teratur dan terlembaga. Jika kerja sama ini dilakukan maka LPTK akan menjadi lembaga pendidikan yang tidak terpisahkan dari dunianya sendiri, yaitu kebutuhan para pemakai output kependidikan.

5. Kurikulum dan Proses Pendidikan
Kurikulum sekolah dewasa ini cenderung menjadi satu-satunya kambing hitam yang dituduh seolah-olah sebagai faktor yang mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan. berbagai program mengakibatkan mutu pendidikan telah dilakukan melalui pembakuan kurikulum sekolah tahun 1975-1976, perubahan kurikulum beberapa masalah yang masih menghambat upaya peningkatan mutu yang sebenarnya boleh jika bukan disebabkan oleh masalah kurikulum sekolah yang tertulis. Permasalahan-permasalahan itu adalah sebagai berikut :
ü Proses pembelajaran yang masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi menyebabkan pengembangan kemampuan belajar dan penalaran bagi para siswa sebagai inti dari keberhasilan pendidikan menjadi terhambat bahkan cenderung terabaikan.
ü Kurikulum sekolah yang terlalu terstruktur dan sarat beban mengakibatakan proses pembelajaran disekolah menjadi steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi di lingkungan.
ü Proses pendidikan dan pembelajaran yang belum dikendalikan oleh suatu sistem penilaian yang terpecaya telah menyebabkan mutu pendidikan belum termonitor secara teratur dan objektif.
Berkaitan dengan adanya kebijaksanaan penguatan desentralisasi pengelolaan pendidikan dasar dan menengah, sebagaimana diatur melalui Undang-Undang No.22/1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Anggaran Pusat dan Daerah, maka manajemen sekolah termasuk kurikulum sekolah tidak perlu dibakukan seluruhnya secara terpusat. Memang ada bagian yang perlu dibakukan, tetapi hanya sebatas paa beberapa aspek pokok sebagai berikut :
ü Konten atau substansi program pendidikan yang berada di bawah tanggung jawab pemerintah.
ü Pengendalian mutu pendidikan terutama yang menyangkut kompetensi minimum yang perlu ditetapkan oleh pemerintah tetapi disusun oleh para ahli yang kompeten dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan, psikologi perkembangan, dan ahli pendidikan; dan
ü Kandungan minimal konten setiap bidang studi yang ada dalam kurikulum sekolah yang juga bisa dituangkan ke dalam isi buku-buku pelajaran.
Selebihnya dalam kurikulum sekolah dikembangkan secara taerdesentralisasi sejak propinsi, kabupaten/kota dan satuan pendidikan yang bersangkutan yang sudah harus didukung oleh SDM yang bermutu.

6. Pembiayaan Pendidikan
Besarnya Anggaran Pendidikan; meskipun dalam dasawarsa terakhir terjadi peningkatan anggaran pendidikan yang cukup besar, proporsinya terhadap PDB masih terlalu rendah. Mengigat kemampuan yang masih terbatas, untuk mencapai proporsi, misalnya 5%, nampaknya masih diperlukan perjuangan dalam waktu yang cukup panjang. Agar peningkatan anggaran pendidikan memiliki dampak positif terhadap pembentukan SDM perlu dilakukan, pertama, pemerintah perlu melipat gandakan volume APBN itu sendiri, sehingga dengan prinsip alokasi yang berimbang antar sektor akan dimungkinkan dapat tercapainya porsi yang 5% terhadap PDB; dan kedua perlu peningkatan sistem perencanaan, pemrograman, dan manajemen pendidikan yang lebih efisien agar peningkatan anggaran pendidikan berjalan searah dengan pendayagunaan anggaran yang lebih berdayaguna untuk prningkatan mutu pendidikan.
Efisiensi Pendayagunaan Anggaran Pendidikan ; walaupun biaya pendidikan bukan satu-satunya faktor yang menentukan berhasilnya pengembangan kualitas SDM, besarnya anggaran pendidikan pasti bermanfaat untuk mempercepat peningkatan mutu pendidikan jika didayagunakan secara efisien. Agenda pembiayaan pendidikan ini berkaitan erat dengan dua konsep efisiensi teknis, yaitu (1) efisiensi intenal, penggunaan dana yang efektif atas dasar komposisi item-item pengeluaran yang paling tepat untuk mencapai produktivitas yang paling tinggi; dan (2) efisiensi eksternal, yaitu penggunaan anggaran menurut komposisi jenis atau jenjang pendidikan yang paling memberikan dampak posotif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Pemerataan-Keadilan dalam Anggaran Pendidikan; landasan dari aspek pemerataan dan keadilan anggaran pendidikan adalah konsep efisiensi alokatif. Konsep ini menganggap bahwa pembentukan SDM yang bermutu akan bisa dicapai secara efisien jika biaya pendidikan didistribusikan secara adil antarsegmen masyarakat. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan untuk itu pemerataan mutu pendidikan adalah agenda kebijaksanaan yang amat mendasar. Untuk mewujudkan mutu pendidikan yang merata, setiap satuan pendidikan perlu didukung oleh anggaran pendidikan yang relatif merata.

7. Pendidikan Masyarakat
Pendidikan luar sekolah pada dasarnya dikembangkan dalam era pasca tiga buta yang berbentuk program pendidikan yang lentur dan selalu menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar akan jenis keterampilan dan kemahiran tertentu. Pembinaan terhadap kursus-kursus keterampilan dilakukan secara profesional dengan melibatkan lembaga-lembaga profesional dalam penilaian dengan akreditasi. Kursus-kursus PLS diharapkan memiliki status profesional yang mampu menghasilkan tamatan yang selalu dibuatuhkan oleh dunia kerja atau mereka yang memiliki kemampuan berusaha secara mandiri. Dengan demikian, dalam pembinaan PLS profesinal ini perlu dilakukan melalui industri dan dunia usaha serta perhimpunan profesi untuk sertifikatnya.

8. Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan
Kesenjangan dalam memperoleh kesempatan pendidikan dalam masyarakat dipengaruhi oleh pengelolaan pendidikan yang terpusat. Rentang pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan yang terlalu jauh mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam mutu sumber daya dan pemanfaatannya di sekolah-sekolah yang kurang diperhitungkan secara cermat.
Salah satu kebijaksanaan penting pemerintah pusat adalah menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional. Fungsi ini antara lain diwujudkan melalui penetapan stabdar minimak penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta hasil-hasilnya. Standar minimal ini menyangkut sarana-prasarana pendidikan, kompetensi SDM pendidikan, konten minimum pendidikan, serta kemampuan minimal siswa yang harus dicapai. Untuk mencapai standar kemampuan minimal siswa, pejabat daerah dan kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pengadaan, alokasi, pemeliharaan serta pendayagunaan secara efisien sarana-prasarana pendidikan. Sementara itu, sekolah diberi keleluasaan mengelola sumber daya yang bervariasi menurut satuan pendidikan di setiap daerah untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi siswa.
Akhirnya, keberhasilan kepala sekolah dan guru dalam mencapai mutu pendidikan yang tinggi harus diukur dengan sistem ujian negara atau daerah yang bersifat independent. Berdasarkan mutu yang dicapai ini perlu diteliti bagaimana menerapkan sistem ganjaran dan hukuman yang jelas, konsisten dan objektif terhadap kepala sekolah dan guru.


Lampiran 1
PENGARUH PERUBAHAN MASYARAKAT DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN TERHADAP PENINGKATAN PELAYANAN PENDIDIKAN

a. Latar Belakang
Dalam masa Perkembangan Jangka Panjang Kedua (PJP II), bangsa Indonesia diisukan akan terus menghadapi tantangan perubahan sebagai akibat dari kemanjuan yang telah dicapai pada periode PJP I, pengaruh perkembangan iptek, dan pengaruh globalisasi yang semakin menggejala dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian, pembangunan nasional tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh perkembangan internasional. Perubahan ini mengandung banyak peluang dan sekaligus kendala bagi pembangunan nasional.
Berdasarkan amanat GBHN 1993, sasaran umum PJP II adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram yang sejahtera lahir batin. Adapun titik berat pembangunan tetap pada ekonomi yang merupakan penggerak utama roda pembangunan, seiring dengan peningkatan sumber daya manusia yang menguasai iptek. Pembangunan ekonomi ini diarahkan untuk mewujudkan perekonomian yang mandiri dan handal sebagai usaha bersama atas dasar azas kekeluargaan yang didorong oleh kemitraan usaha yang tangguh antara badan usaha koperasi, negara, dan swasta.
Kertas kerja tema ini mencoba menyoroti permasalahan peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam menjawab berbagai tantangan perubahan dan kecenderungan yang terjadi secara terus-menerus di dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi secara terus-menerus dalam berbagai dimensi kehidupan akan mengakibatkan tuntutan masyarakat akan tugas-tugas pemerintah dalam pelayanan umum juga akan terus berubah baik dilihat dari mutu, jumlah, ragam, dan jenisnya.



b. Lingkup Kajian
Pertama dilihat dari sistemnya, pelayanan kepada masyarakat paling tidak memiliki tiga komponen penting yang kait-mengkait satu dengan yang lain, yaitu: komponen kelembagaan, komponen ketatalaksanaan, dan komponen SDM. Kedua, dimensi pelayanan adalah dimensi yang bukan semata-mata persoalan administratif atau pemenuhan kebutuhan fisik, akan tetapi secara lebih mendasar menyangkut dua aspek penting, yaitu aspek partisipasi masyarakat dan aspek pembangunan untuk masyarakat.


c. Pendekatan
Disadari bahwa keberhasilan PJP I antara lain ditentukan oleh dukungan sistem administratif negara yang dirasakan cukup memadai sampai saat ini. Namun disadari pula bahwa tantangan pembagunan dalam masa yang akan datang cukup besar sehingga sistem administratif negara juga perlu dibangun dengan berlandaskan pada cara-cara berpikir baru untuk menjawab tantangan baru yang berkembang pada zamannya.
Jika kebijaksanaan untuk mengurangi kekakuan dalam pelayanan masyarakat telah dilahirkan, maka tantangan berikutnya ialah bagaimana kita mengembangkan kemampuan aparatur negara untuk menjabarkan kebijaksanaan tersebut menjadi program-program pelayanan yang lebih fleksibel dan bermutu, khususnya dilihat dari sisi kelembagaannya, ketatalaksanaan, sampai dengan sumber daya manusia pendukungnya. Ketiga aspek tersebut dapat diperas lagi menjadi satu faktor dominan yang mempengaruhi ketiganya, yaitu kualitas SDM sebagai aparatur negara.

d. Kebijaksanaan Pelayanan Masyarakat Dewasa ini
Sasaran pembangunan aparatur negara terutama ditunjukan untuk menigkatkan kemampuan aparatur negara dalam melayani, mengayomi dan menumbuhkan peran aktif masyarakat dalam pembangunan, terutama berkaitan dengan kualitas, efisien, dan efektivitas kegiatan. Sehubungan dengan itu pemberian pelayanan umum kepada masyarakat adalah merupakan perwujudan fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi negara, sehingga penyelenggaraannya perlu terus ditingkatkan sesuai dengan sasaran yang dimaksud.
Hingga akhir PJP I kita merasakan pelayanan kepada masyarakat masih jauh dari pola pelayanan masyarakat masih ditandai dengan Birokratisasi, Regulasi, dan Sentralisasi yang lebih dimaksudkan untuk menciptakan pola pelayanan yang efisien dan terkendali. Namun dalam pelaksanaannya, pelayanan tersebut bukannya tanpa hambatan karena jumlah anggota masyarakat yang dilayani semakin besar dan terus berkembang aspirasinya. Dengan demikian sering timbul ekses yang antara lain dapat dikemukakan.

e. Beberapa Kecenderungan Perubahan dalam Masyarakat
Pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan yang sistematis, terprogram, dan dilaksanakan secara terus-menerus. Salah satu bentuk perubahan yang diprediksikan terjadi secara meluas dalam era PJP II ialah terjadinya transformasi masyarakat Indonesia dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri sebagai salah satu indikator dari terjadinya proses tinggal landas dalam pembangunan nasional. Transformasi tersebut berlangsung sebagai akibat dari berkembangnya sektor-sektor industri dan munculnya jenis-jenis jabatan baru yang semakin berkembang yang memerlukan jenis-jenis keterampilan dan keahlian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Munculnya jabatan dan keahlian yang semakin beragam ini juga mengakibatkan timbuknya berbagai perubahan fisik, pranata sosial, dan pergeseran sistem nilai. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika dalam masyarakat diperkirakan akan muncul berbagai benturan antara nilai-nilai tradisional yang sudah melekat pada budaya agraris dengan nilai budaya industri yang baru berkembang.
Secara lebih tajam, berbagai gejala perubahan yang dapat memberikan pengaruh terhadap jenis dan mutu pelayanan kepada masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perubahan Struktur Penduduk (Transisi Deografis)
Dilihat dari struktur kependudukan, Indonesia diperkirakan akan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Dalam abad ke 21 pertumbuhan penduduk Indonesia akan terus menurun. Angka pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 1990-1995 yang diperkirakan sekitar 1,7 persen akan terus menurun sekitar 1,0 persen pada kurun waktu 2015-2020. Meskipun angka pertumbuhan penduduk akan terus menurun, penduduk Indonesia akan terus bertambah jumlahnya dari 164,6 juta pada tahun 1985, menjadi sekitar 197,2 juta pada tahun 1995. Jumlah ini akan meningkat menjadi 269,9 juta pada tahun 2020.
2. Pergeseran Struktur Ekonomi
Sektor-sektor industri yang terus melaju dengan cepat sejak dasawarsa 1980an diperkirakan akan terus berkembang di masa depan. Sumbangan sektor industri terhadap pendapatan negara terus meningkat dengan pesat dari 12,43% pada tahun 1980 menjadi 15,79% pada tahun 1985 dan mencapai 19,3% pada tahun 1990. Pada tahun 1993 sumbangan sektor industri tersebut sudah mencapai di atas 23%. Sumbangan sektor industri tersebut diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah untuk memacu penanaman modal pada berbagai sektor dalam pembangunan nasional.
3. Jabatan dan Pekerjaan yang Semakin Beragam
Ragam kegiatan industri secara sektoral telah menyebabkan munculnya berbagai profesi dan jenis jabatan baru yang lebih beragam baik jenis maupun tingkatannya. Perkembangan dalam penguasaan keahlian dan keterampilan dalam berbagai cabang iptek yang terus dipacu oleh pemerintah merupakan inti dari upaya pengembangan SDM dalam era industri. Proses industrialisasi yang terus berkembang dalam struktur jabatan pekerjaan yang semakin beragam tersebut telah memacu berkembangnya profesionalisme dalam bekerja diatas dasar kemampuan dan keahlian. Dari sisi investasi nasional, menigkatkan investasi sektor pemerintah dan swasta terhadap GDP dari 21,9 persen pada tahun 1978/9 mrnjsdi 26,7 persen pada tahun 1988/89 akan mengakibatkan naiknya kebutuhan akan tenaga ahli dan profesional yang semakin besar jumlahnya dengan jenis-jenis jabatan dan pekerjaan yang semakin beragam.
4. Struktur Angkatan Kerja yang Semakin Terdidik
Dari sisi struktur angkatan kerja menurut pendidikan, walaupun proporsi lulusan pendidikan tinggi masih sangat rendah dibandingkan dengan proporsi angkatan kerja kelompok pendidikan lainnya. Presentase angkatan kerja yang berpendidikan rendah (SD ke bawah) menurut SAKERNAS 1987 adalah sebesar 79,5 persen.

f. Pembahasan Mengenai Pelayanan Umum
Pertama, dengan rata-rata tingkat pendidikan yang semakin tinggi masyarakat Indonesia akan semakin logis, disiplin, tepat waktu, dan memiliki wawasan yang semakin luas. Kedua, sejalan dengan sektor-sektor industri yang semakin berkembang, semakin banyak anggota masyarakat yang mulai berorientasi terhadap peningkatan efisiensi dan produktivitas dalam melaksanakan usahanya. Ketiga, proses industrialisasi yang terus melaju dalam berbagai sektor ekonomi juga menimbulkan berbagai pergeseran nilai dari nilai agraris ke nilai masyarakat modern. Untuk itu manusia harus mampu memperhitugkan dengan cermat faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas, serta cara-cara untuk menanganinya.

g. Pembahasan Mengenai Pelayanan Umum
Bertitik tolak dari gambaran keadaan masa lalu sampai dengan masa sekarang yang dijelaskan di mula, khususnya mengenai berbagai kecenderungan perubahan dan berkembangnya aspirasi dan tuntutan masyarakat akan pelayanan umum, maka analisis diarahkan pada kebijaksanaan pelayanan umum di dalam era perubahan. Diskusi mengenai aspek-aspek pelayanan umum akan berkisar sekitar lingkup kajian yang dikemukakan terdahulu, yaitu sekitar ketiga aspek manajemen, yaitu aspek kelembagaan, aspek ketatalaksanaan, dan aspek sumber daya manusia. Ketiga aspek ini akan disoroti terutama pada faktor-faktor yang menonjol yang dinilai mempunyai pengaruh besar dan langung terhadap upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat.


h. Kebijaksanaan Masa Depan
Kebijaksanaan masa depan diarahkan pada pemantapan ketiga aspek manajemen dalam pelayanan umum seperti yang dikemukakan, yaitu aspek kelembagaan, aspek ketatalaksanaan, dan aspek sumber daya manusia. Rata-rata pendidikan masyarakat secara makro perlu ditingkatkan terutama melalui jalur pendidikan formal. Dengan demikian maka program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun akan merupakan faktor pendorong yang kuat bagi berkembangnya pemberdayaan masyarakat. Melalui pemberdayaan ini maka pembentukkan sikap kritis, kreatif, mandiri, dan etos kerja dapat diciptakan. Dari titik inilah perkembangan kelompok mesyarakat keals menengah akan dapat kita amati berbagai kebijaksanaan mengenai deregulasi, debirokratisasi, desentralisasi, dan privatisasi pelayanan pemerintahan akan dapat dilaksanakan secara lebih dinamis dan menjadi faktor pendorong yang sangat ampuh bagi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional.

i. Kesimpulan dan Saran
Pelayanan masyarakat pada dasarnya akan meliputi hampir seluruh aspek dari program pemerintah yang dijelma melalui nilai, sikap dan perilaku aparatur negara, baik di dalam maupun diluar jam pekerjaan meraka. Pelayanan masyarakat adalah menurut prinsip-pronsip manajemen modern tidak selalu harus berbentuk pelayanan langsung setiap aparatur terhadap client, tetapi menganut prinsip “the next production line is your customer” artinya ialah bahwa pihak-pihak yang secara langsung dilayani oleh seorang aparatur harus dianggap sebagai customer (client) yang harus mendapatkan pelayanan sesuai dengan yang diharapkan.

Dari pembahasan dalam Kertas Kerja Tema ini dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran-saran umum, yaitu sebagai berikut :
1. Kesimpulan
a. Pelayanan masyarakat merupakan suatu konsep penting yang menyangkut tugas dan fungsi aparatur negara dalam melaksanakan program-program pemerintahan.
b. Terdapat kecenderungan bahwa semakin rendah tingkat perkembangan masyarakat yang dilayani, semakin besar kemungkinan sifat pelayanan pemerintah terhadap masyarakat berorientasi terhadap aspek pelayanan daripada aspek pemberdayaan masyarakatnya.
c. Perkembangan masyarakat sangat dipengaruhi oleh berbagai perubahan secara demografis, ekonomis, sosial-budaya, dan bidang-bidang lainnya, baik secara internal maupun secara eksternal.
d. Untuk memantapkan peran Administrasi Negara dalam mengatur dan menciptakan fungsi pelayanan umum yang lebih baik, beberapa kecenderungan berikut penting untuk mendapatkan perhatian.

2. Saran-saran
Berikut dikemukakan beberapa saran umum dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan masyarakat, sejalan dengan masyarakat Indonesia yang berkembang dan maju menuju eraustri dan modernisasi.
a. Perampingan Organisasi dan Debirokratisasi
Sifat pemerintah yang selalu berorientasi pada kekuatan dan kekuasaan yang sangat besar, sudah saatnya untuk dikurangi.
b. Deregulasi dalam Seluruh Sektor Pelayanan Masyarakat
Deregulasi atau penyederhanaan peraturan yang secara bertahap telah dilaksanakan perlu terus menerus diupayakan agar hambatan pembangunan yang bersumber dari kekuatan peraturan dapat dihilangkan sejauh mungkin.
c. Desentralisasi yang Semakin Meluas
Sifat pemerintahan yang sentralistis dewasa ini sudah tidak sesuai lagi untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi dalam setiap sudut kehidupan Indonesia dengan kerumitan wilayah yang sangat tinggi.
d. Privatisasi Fungsi Pelayanan
Hasil pembangunan pada PJP I telah dapat menigkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia yang antara lain ditunjukan dengan menigkatkan kemampuan ekonomi masyarakat.
e. Pemberdayaan MasyarakatTidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat dewasa ini tidak berdaya manghadapi kekuasaan pemerintahan yang terlalu besar dalam bidang pelayanan kepada masyarakat. Dengan mekanisme pelayanan yang berlaku sekarang sering terjadi bahwa masyarakat hanya berdaya untuk menerima tetapi tidak dapat menanggapi mutu pelayanan yang diberikan pemerintah







Tidak ada komentar:

Posting Komentar